Kamis, 22 Desember 2011
Mario Teguh - Loving You As Always
yang dalam pengertianmu - seharusnya membahagiakanmu,
tetapi yang hanya memedihkan hatimu, dengarlah ini …
Berhati-hatilah engkau terhadap orang yang mengatakan bahwa dia mencintaimu, tapi tidak berlaku lembut dan lalai menghormatimu.
Dan lebih berhati-hatilah engkau, jika dia berlaku kasar, menyakiti tubuhmu dan melukai hatimu, yang
katanya dilakukannya karena cintanya kepadamu.
Dan sangat berhati-hatilah jika dia berkhianat, tapi membuatmu merasa bersalah karena menyebabkannya terpaksa berkhianat.
Janganlah kau biarkan hati dan harga dirimu direndahkan seperti itu, yang katanya demi cinta.
Jika dia betul-betul mencintaimu, dia tak akan mampu menyaksikan wajahmu menggelayut dengan kesedihan, dan matamu menggelimang dengan air mata yang piatu.
Jika engkau jiwa kecintaannya, dia akan mengajukan dirinya terbakar menjadi arang, agar hatimu terpelihara dalam kesejukan cinta.
Sudahlah. Engkau berhak berbahagia.
Cinta yang sejati tidak akan melukaimu.
Jika hatimu luka, dan rasa hormat terhadap dirimu sendiri sirna, itu tanda bahwa engkau telah mencintai penista cinta.
Engkau berhak berbahagia.
Engkau jiwa baik yang berhak bagi cinta yang baik.
Tegaslah
Semoga Tuhan segera menyelamatkan hatimu, dan mengenalkanmu kepada jiwa baik yang mencintaimu dengan pengabdian dan kesetiaan yang indah.
Aamiin
-----------------
Mario Teguh - Loving you all as always
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
Jumat, 04 November 2011
Kesetiakawanan Sosial
KESETIAKAWANAN SOSIAL
ARTI DAN MAKNA KESETIAKAWANAN SOSIAL
Kesetiakawanan Sosial atau rasa solidaritas sosial adalah merupakan potensi spritual, komitmen bersama sekaligus jati diri bangsa oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan Nurani bangsa Indonesia yang tereplikasi dari sikap dan perilaku yang dilandasi oleh pengertian, kesadaran, keyakinan tanggung jawab dan partisipasi sosial sesuai dengan kemampuan dari masing-masing warga masyarakat dengan semangat kebersamaan, kerelaan untuk berkorban demi sesama, kegotongroyongan dalam kebersamaan dan kekeluargaan.
Oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan Nilai Dasar Kesejahteraan Sosial, modal sosial (Social Capital) yang ada dalam masyarakat terus digali, dikembangkan dan didayagunakan dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk bernegara yaitu Masyarakat Sejahtera.
Sebagai nilai dasar kesejahteraan sosial, kesetiakawanan sosial harus terus direvitalisasi sesuai dengan kondisi aktual bangsa dan diimplementasikan dalam wujud nyata dalam kehidupan kita. Kesetiakawanan sosial merupakan nilai yang bermakna bagi setiap bangsa. Jiwa dan semangat kesetiakawanan sosial dalam kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia pada hakekatnya telah ada sejak jaman nenek moyang kita jauh sebelum negara ini berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka yang kemudian dikenal sebagai bangsa Indonesia.
Jiwa dan semangat kesetiakawanan sosial tersebut dalam perjalanan kehidupan bangsa kita telah teruji dalam berbagai peristiwa sejarah, dengan puncak manifestasinya terwujud dalam tindak dan sikap berdasarkan rasa kebersamaan dari seluruh bangsa Indonesia pada saat menghadapi ancaman dari penjajah yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa.
Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan berkat semangat kesetiakawanan sosial yang tinggi. Oleh karena itu, semangat kesetiakawanan sosial harus senantiasa ditanamkan, ditingkatkan dan dikukuhkan melalui berbagai kegiatan termasuk peringatan HKSN setiap tahunnya. HKSN yang kita peringati merupakan ungkapan rasa syukur dan hormat atas keberhasilan seluruh lapisan masyarakat Indonesia dalam menghadapi berbagai ancaman bangsa lain yang ingin menjajah kembali bangsa kita. Peringatan HKSN yang kita laksanakan setiap tanggal 20 Desember juga merupakan upaya untuk mengenang kembali, menghayati dan meneladani semangat nilai persatuan dan kesatuan, nilai kegotong-royongan, nilai kebersamaan, dan nilai kekeluargaan seluruh rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Saat ini kita tidak lagi melakukan perjuangan secara fisik untuk mengusir penjajah, namun yang kita hadapi sekarang adalah peperangan menghadapi berbagai permasalahan sosial yang menimpa bangsa Indonesia seperti kemiskinan, keterlantaran, kesenjangan sosial, konflik SARA di beberapa daerah, bencana alam (gempa bumi, gunung meletus, tsunami, kekeringan, dll), serta ketidakadilan dan masalah-masalah lainnya.
Sesuai tuntutan saat ini, dengan memperhatikan potensi dan kemampuan bangsa kita, maka peringatan HKSN ( Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional ) ini yang merupakan pengejewantahan dari realisasi konkrit semangat kesetiakawanan sosial masyarakat. Dengan prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat dalam pelaksanaannya memerlukan berbagai dukungan dan peran aktif dari seluruh komponen/elemen bangsa, bukan hanya tanggungjawab pemerintah saja melainkan tanggung jawab bersama secara kolektif seluruh masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, makna nilai kesetiakawanan sosial sebagai sikap dan perilaku masyarakat dikaitkan dengan peringatan HKSN ditujukan pada upaya membantu dan memecahkan berbagai permasalahan sosial bangsa dengan cara mendayagunakan peran aktif masyarakat secara luas, terorganisir dan berkelanjutan. Dengan demikian kesetiakawanan sosial masih akan tumbuh dan melekat dalam diri bangsa Indonesia yang dilandasi oleh nilai-nilai kemerdekaan, nilai kepahlawanan dan nilai-nilai kesetiakawanan itu sendiri dalam wawasan kebangsaan mewujudkan kebersamaan : hidup sejahtera, mati masuk surga, bersama membangun bangsa.
KESETIAKAWANAN SOSIAL SEBAGAI GERAKAN NASIONAL Peringatan HKSN menjadi momentum yang sangat strategis sebagai upaya untuk mengembangkan dan mengimplementasikan kesetiakawanan sosial sebagai suatu gerakan nasional sesuai dengan kondisi dan tantangan jaman, kesetiakawanan sosial yang menembus baik lintas golongan dan paradaban maupun lintas SARA harus terus menggelora terimplementasi sepanjang masa, dengan demikian akan berwujud ”There is No Day Whithout Solidarity” (tiada hari tanpa kesetiakawanan sosial), kesetiakawanan sosial tidak berhenti pada harinya HKSN yang diperingati setiap tanggal 20 Desember di Tingkat Pusat, Provinsi dan Kab/Kota serta oleh seluruh lapisan masyarakat berkelanjutan selamanya dan sepanjang masa.
Kesetiakawanan sosial sebagai pengejewantahan dari sikap, perilaku dan jati diri bangsa Indonesia akan dapat menjadi modal yang besar dalam mengatasi berbagai permasalahan sosial yang dihadapi bangsa ini secara bertahap untuk melakukan perbaikan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh tanah air, apabila nilai kemerdekaan, nilai kepahlawanan dan nilai kesetiakawanan itu melekat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kesetiakawanan terkikis zaman
Gagasan kesetiakawanan berawal dari solidaritas kerakyatan dan kebangsaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Solidaritas muncul karena kesamaan nasib (sejarah), kesamaan wilayah (teritorial), kesamaan kultural, dan bahasa. Menurut Ernest Renan [1823-1892], semua itu merupakan modal untuk membentuk nation. Kesadaran kebangsaan memuncak seiring deklarasi Sumpah Pemuda 1928. Sebuah semangat mengubah ”keakuan” menjadi ”kekamian” menuju ”kekitaan”.
Selanjutnya, kesetiakawanan sosial nasional tumbuh kuat karena faktor penjajahan. Dalam hal ini, kesetiakawanan mengejawantah dalam perjuangan mengusir penjajahan, baik masa prakemerdekaan maupun pascakemerdekaan. HKSN sendiri bermula dari semangat solidaritas nasional antara TNI dan rakyat dalam mengusir Belanda yang kembali pada 19 Desember 1948. Akhirnya kebersamaan yang dilandasi semangat rela berkorban dan mengutamakan kepentingan bangsa menjadi senjata ampuh untuk memerdekakan bangsa.
Namun, fakta lain menunjukkan, nilai-nilai kesetiakawanan kian terkikis. Saat ini solidaritas itu hanya muncul di ruang politik dengan semangat membela kepentingan masing-masing golongan. Menguat pula solidaritas kedaerahan yang mewujud dalam komunalisme dan tribalisme. Di bidang ekonomi, nilai solidaritas belum menjadi kesadaran nasional, baik di level struktural, institusional, maupun personal.
Menguatnya kesenjangan di berbagai ruang publik merupakan indikator melemahnya kesetiakawanan sosial. Basis-basis perekonomian dikuasai segelintir orang yang memiliki berbagai akses. Juga terjadi kesenjangan antarwilayah, antara pusat dan daerah, antarpulau, antaretnik, dan antargolongan.
Menurut Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah (2006), ada tiga hal yang menggerus nilai kesetiakawanan sosial. Pertama, menguatnya semangat individualis karena globalisasi. Gelombang globalisasi dengan paradigma kebebasan, langsung atau tidak, berdampak pada lunturnya nilai-nilai kultural masyarakat.
Kedua, menguatnya identitas komunal dan kedaerahan. Akibatnya, semangat kedaerahan dan komunal lebih dominan daripada nasionalisme.
Ketiga, lemahnya otoritas kepemimpinan. Hal ini terkait keteladanan para kepemimpinan yang kian memudar. Terkikisnya nilai kesetiakawanan menimbulkan ketidakpercayaan sosial, baik antara masyarakat dan pemerintah maupun antara masyarakat dan masyarakat, karena terpecah dalam aneka golongan.
Menemukan kembali kesetiakawanan
Dalam perjalanan sejarah, kita memerlukan momentum untuk membangkitkan semangat dan daya implementasi baru. Di tengah krisis finansial global, mungkin sudah saatnya menemukan kembali nilai-nilai kesetiakawanan sosial guna menjawab aneka masalah kebangsaan.
Saatnya kita menumbuhkan apa yang disebut Komaruddin Hidayat (2008) grand solidarity untuk kemudian diaplikasi ke dalam grand reality. Grand solidarity adalah rasa kebersamaan untuk membangun bangsa, yang didasarkan atas spirit, tekad, dan visi yang diajarkan founding father’s. Adapun grand reality adalah upaya untuk mengaplikasi masa lalu ke konteks masa kini. Pada level praksis, program-program pembangunan harus dilandasi semangat kesetiakawanan yang diwujudkan dalam bentuk pemberdayaan. Pemerintah wajib memberi umpan (akses permodalan), memandu bagaimana cara memancing (akses SDM), menunjukkan di mana memancingnya (akses teknologi dan informasi), serta menunjukkan di mana menjual ikannya (akses market).
Di tingkat masyarakat, dapat ditradisikan satu orang kaya yang tinggal di permukiman miskin membantu orang miskin. Inilah yang disebut kepedulian sosial. Jika hal ini dilakukan secara simultan, akan tercipta keharmonisan di tingkat negara maupun kehidupan masyarakat.
Maka, inilah saatnya kita menemukan kembali solidaritas sosial nasional dan jati diri bangsa. Kita harus menumbuhkan semangat kebersamaan dan kepedulian dalam menghadapi tantangan kebangsaan.
Kesetiakawanan Sosial Versus Masyarakat Konsumtif
Di mata dunia, bangsa kita sudah lama dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi dengan entitas kesetiakawanan sosial yang kental, tidak tega melihat sesamanya menderita. Kalau toh menderita, “harus” dirasakan bersama dengan tingkat kesadaran nurani yang tulus, bukan sesuatu yang dipaksakan dan direkayasa. Merasa senasib sepenanggungan dalam naungan “payung” kebesaran” religi, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. ltulah yang membuat bangsa lain menaruh hormat dan respek.
Peristiwa 49 tahun yang lalu, benar-benar menjadi sebuah catatan sejarah yang tak pernah jenuh dibaca dan ditafsirkan. Dengan semangat “Tat twan Asi” (Aku adalah Engkau), rasa setia kawan menjelma dan bernaung turba dalam dada bangsa kita, sehingga mampu merebut kembali kemerdekaan dari keserakahan kaum penjajah.
Ketika baru saja berhasil menumpas Pemberontakan PKI Madiun, secara mendadak Belanda melancarkun aksi militernya yang kedua, 19 Desember 1945. Dengan taktik “perang kilat”, Belanda melancarkan serangan di semua front wilayah Republik Indonesia. Pangkalan Maguwo Yogyakarta menjadi basis serangan hingga akhirnya berhasil menduduki ibukota Yogyakarta. Prajurit RI bergerak mundur dengan siasat gerilya. Jenderal Soedirman sebagai pemegang komando tak henti-hentinya memberikan “suntikan” dan kekuatan batin kepada seluruh rakyat dan prajurit RI. Dengan semangat setia kawan yang tinggi, seluruh rakyat dan prajurit kita terus berjuang, bahu-membahu, saling rangkul, dan saling berkorban dalam upaya mempertahankan kemerdekaan.
Dalam situasi yang sulit dan tidak menentu, akhirnya secara bertahap bangsa kita mampu membuktikan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih eksis. Dan puncaknya terjadi ketika terjadi Serangan Umum 1 Marei 1949 di bawah pimpinan Komandan Brigade X, l.etkol Soeharto (mantan Presiden Rl) yang berhasil menduduki Yogyakarta selama enam jam. Sukses tersebut jelas akan sulit diraih tanpa internalisasi dan sikap apresiatif terhadap nilai kesetiakawanan sosial, di samping kecekatan dan kemampuan para pemimpin dalam menyiasati situasi
Rasa Kemanusiaan
Kini, masa-masa semacam itu sudah jauh melewat. Perjuangan fisik telah mengalami “transfigurasi” dalam bentuk kesuntukan memacu pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Dalam keadaan demikian, kita justru harus semakin merapatkan barisan dalam suasana egaliter, rnengukuhkan tali persaudaraan, menebalkan rasa kemanusiaan, menyuburkan rasa cinta kasih terhadap sesama, dan mengakarkan nilai kesalehan pribadi maupun sosial, dalam gerak dan langkah hidup kita agar “sukma” kesetiakawanan senantiasa menjadi basis komunitas sosial kita.
Di penghujung tahun 1997 ini, negeri kita “digoyang” oleh serentetan “tragedi dramatis” yang mengundang keprihatinan banyak kalangan. Kebakaran hutan, kelaparan, dan gejolak moneter, merupakan tiga “lakon” yang tengah menguji “akting” sosial kita terhadap para korban.
Saudara-saudara kita di Lampung, Irian Jaya, dan sebagian Jawa, sangat membutuhkan uluran tangan kita untuk menyantuni mereka sekadar untuk bisa bertahan hidup. Rasa kemanusiaan kita benar-benar diuji. Kalau selama ini kita terus bersikutat untuk menumpuk-numpuk harta, sikut sana sikut sini untuk memanjakan naluri kesenangan dan kepangkatan, bahkan tidak jarang harus membudayakan upeti dan amplop dalam memuaskan kebuasan hati, saudara-saudara kita justru memeras keringat, air mata, bahkan darah, untuk bisa “survive” mempertahankan nyawanya.
Akselerasi pembangunan yang telah mampu menjangkau kemakmuran dan tingkat taraf hidup yang memadai, harus kita syukuri dengan banyak menyantuni kaum dhuafa yang nasibnya kurang beruntung. Pemerintah lewat Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) — yang dirimis sejak awal Repelita VI –setidaknya telah memberikan “patron” yang nyata dalam upaya mengentaskan kemiskinan yang melilit sebagian saudara kita. Jika pada tahun 1976 jumlah penduduk yang miskin masih sebesar 40 persen atau sekitar 54,2 juta orang, pada tahun 1993 telah berkurang menjadi 14 persen atau 25,9 juta jiwa, dan pada tahun 1996 tinggal 11,3 persen atau sekitar 22,6 juta orang. Upaya pengentasan kemiskinan ini jelas memerlukan kepedulian kita semua, bukan sekadar ingin membantu suksesnya program pemerintah, melainkan justru yang lebih penting “menyelamatkan” mereka yang dhaif secara ekonomi dari proses segregasi sosial yang bisa memicu pecahnya konflik, kecemburuan, atau kekerasan sosial.
Para pakar sosiologi mengemukakan bahwa tekanan ekonomi yang berat bisa menjadikan seseorang atau kelompok sosial tertentu mengalami frustrasi akibat merasa tersingkir dari persaingan hidup komunitasnya. Imbasnya, jika mereka mendapatkan kesempatan untuk melampiaskan frustrasinya, aksi kekerasan dan kerusuhan sosial menjadi cara yang jitu dan “sah” bagi mereka.
Lebih-lebih gaya hidup orang kaya baru (the new rich) yang pamer kekayaan, sungguh mempraktekkan pola hidup konsumtif yang kontras secara diametral dengan hidupnya yang serba tertekan, maka kemungkinan terjadinya konflik dan kerusuhan semakin terbuka.
Konsumtivisme
Pembangunan ekonomi negeri kita yang telah berlangsung selama tiga puluh tahun terakhir ini, menurut AE Priyono (1997), ternyata telah melahirkan suatu kelompok sosial yang konsumtif. Mereka tinggal di kota-kota besar, mengonsumsi sekitar lebih dari sepertiga pendapatan nasional, amat gemar berbelanja, memiliki rumah dan mobil-mobil mewah, bergaya hidup glamor, menjadi anggota berbagai klub eksekutif yang mahal, tetapi cenderung bersikap cuek pada gagasan-gagasan perubahan.
Merebaknya “doktrin” konsumtivisme ini, agaknya telah telanjur menjadi sebuah kelatahan seiring merebaknya pola hidup materialistik dan hedonistis, yang melanda masyarakat modern. Manusia modem, menurut Hembing Wijayakusuma (1997) telah melupakan satu dari dua sisi yang membentuk eksistensinya akibat keasyikan pada sisi yang lain. Kemajuan industri telah mengoptimalkan kekuatan mekanismenya, tetapi melemahkan kekuatan rohaninya. Manusia telah melengkapinya dengan alat-alat industri dan ilmu pengetahuan eksperimental dan telah meninggalkan hal-hal positif yang dibutuhkan bagi jiwanya. Akar-akar kerohanian sedang terbakar di tengah api hawa nafsu, keterasingan, kenistaan, dan ketidakseimbangan.
Akibat pemahaman pola hidup yang salah semacam itu, disadari atau tidak, telah melumpuhkan kepekaan nurani dan moral serta religi. Sikap hidup instan telah melenyapkan budaya “proses” dalam mencapai sesuatu. Sikap sabar, tawakal, ulet, telaten, dan cermat, yang merupakan entitas kebersahajaan dan kejujuran telah tersulap menjadi sikap menerabas, pragmatis, dan serba cepat. Orang pun jadi semakin permisif terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak jujur di sekitarnya. Budaya suap, kolusi, nepotisme, atau manipulasi anggaran sudah dianggap sebagai hal yang wajar. Untuk mengegolkan ambisi tidak jarang ditempuh dengan cara-cara yang tidak wajar menurut etika.
Kesibukan memburu gebyar materi umuk bisa memanjakan selera dan naluri konsumtifnya, membuat kepedulian terhadap sesama menjadi marginal. Jutaan saudara kita yang masih bergelut dengan lumpur kemiskinan, kelaparan, dan keterbelakangan, luput dari perhatian.
Fenomena di atas jelas mengingkari makna kesetiakawanan sosial yang telah dibangiun para pejuang pada masa revolusi fisik, mengotori kesucian darah jutaan rakyat yang telah menjadi “tumbal” bagi kemakmuran negeri ini.
Sebagai bangsa yang memiliki peradaban tinggi di mata dunia, bagaimana pun harus memiliki good will (kemauan baik) untuk mengondisikan segala bentukpenyimpangan moral, agama, dan kemanusiaan, pada keagungan dan kebenaran etika yang sudah teruji oleh sejarah. Budaya kita pun kaya akan analogi hidup yang bervisi spiritual dan keagamaan. Jika kultur kita yang sarat nilai falsafinya itu kita gali terus, niscaya akan mampu menumbuhkan keharmonisan dan keseimbangan hidup, sehingga mampu mewujudkan paguyuban hidup sosial yang jauh dari sikap hipokrit, arogan, dan bar-bar.
Ketika memberikan wejangan kepada para dalang dalam rangka “Rapat Paripurna PEPADI 1995″ di Jakarta, Presiden Soeharto pernah menggunakan analogi lakon wayang “Makutha Rama” yang memuat ajaran Asthabrata, sebuah ajaran luhur tentang perilaku hidup yang pernah diterima Arjuna dari Begawan Kesawawidhi. Ajaran ini membuat delapan watak alam yang bisa dijadikan sebagai “simbol moralitas” manusia dalam memperkukuh tali kesetiakawanan sosial akibat semakin dahsyatnya arus konsumtivisme, materialisme, dan hedonisme yang melanda masyarakat modern.
Pertama, watak bumu, simbol karakter manusia yang mau memeratakan kekayaannya kepada siapa pun tanpa pilih kasih. Kedua, watak matahari, mampu memberikan penerangan, kehangatan, dan energi secara merata kepada mereka yang membutuhkan. Ketiga, watak bulan, mampu membahagiakan orang lain dengan penuh sentuhan kelembutan cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Keempat, watak angin, bersikap adaptif dan bisa bergaul dengan siapa saja tanpa membedakan status, agama, atau ras.
Kelima, watak samudra, mampu menampung keluhan, aspirasi. dan masukan orang lain dengan tingkat kesabaran yang tinggi. Keenam, watak air, bersikap adil dan ikhlas, tidak arogan, tidak mau menang sendiri, dan memiliki semargat persaudaraan yang tinggi terhadap sesama. Ketujuh, watak api, memiliki kekuatan pelebur yang mampu memecahkan masalah yang muncul. Dan kedelapan, watak bintang, tegar, tangguh, dan tidak mudah tergoda untuk melakukan perbuatan tercela.
“Wacana” kesetiakawanan sosial, agaknya akan tetap penting dan relevan serta kontekstual sepanjang sejarah peradaban manusia, apalagi ketika zaman yang muncul sudah semakin buram oleh perilaku manusia yang mengerdilkan nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan. Diperlukan internalisasi dan apresiasi yang tinggi untuk mengaktualisasikannya, sehingga muncul sikap responsif ketika melihat sesamanya yang terlunta-lunta dalam kelaparan dan kemiskinan. ***
(Suara Karya, 19 Desember 1997)
Bangun Harmoni Lewat Kesetiakawanan Sosial
Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerukan kepada bangsa Indonesia untuk bersama-sama membangun harmoni kehidupan berbangsa dengan kesetiakawanan sosial nasional. Sejumlah tantangan kompleks yang muncul-termasuk potensi konflik yang ditimbulkan oleh dorongan globalisasi dan pembangunan-dapat diatasi dan diredam melalui semangat kesetiakawanan sosial nasional, yang ironisnya mulai ditinggalkan.
"Kesetiakawanan sosial nasional adalah pilar utama untuk mewujudkan masyarakat adil dan sejahtera. Dituntut kepedulian dan ketenggangrasaan yang merupakan watak dasar bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Sayangnya kata kesetiakawanan sosial jarang terdengar. Ini ironis. Dalam menghadapi tantangan kehidupan, dituntut kebersamaan, persaudaraan, dan kesetiakawanan," ujar Presiden Yudhoyono dalam sambutan peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional di Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta, Senin (20/12).
Presiden lantas menyebutkan tantangan kompleks yang kini dihadapi bangsa dan membutuhkan kesetiakawanan sosial. Globalisasi, katanya, selain memberikan dampak positif juga menimbulkan dampak negatif berupa individualisme. Pembangunan selain membawa kesejahteraan juga memunculkan kesenjangan sosial dan marginalisasi warga negara.
"Masih ada sekitar 9,5 juta penganggur dan lebih dari 35 juta rakyat miskin. Konflik di sejumlah daerah seperti di Aceh, Papua, Maluku, dan Sampit adalah tantangan yang kita hadapi. Dengan kesetiakawanan sosial, kita berharap harmoni kehidupan dapat dibangun. Kesetiakawanan sosial juga akan membuat trauma karena konflik dapat dihilangkan," ujarnya.
"Tidak mudah mendefinisikan kesetiakawanan sosial. Tetapi, di dalamnya terkandung ciri-ciri penting, yaitu kepedulian, solidaritas, rasa sepenanggungan, kasih sayang, kebersamaan, ketulusan. Bagi yang mampu, kesetiakawanan sosial menuntut uluran tangan kepada yang tidak mampu," ujarnya disambut tepuk tangan meriah ratusan peserta upacara.
Usai sambutan, Presiden Yudhoyono-yang didampingi istrinya, Kristiani Herawati Yudhoyono-memukul kentongan bambu sebagai tanda pencanangan kesetiakawanan sosial sebagai nurani bangsa. Hadir dalam acara ini Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, sejumlah menteri, para gubernur, bupati, dan wali kota. (INU)
Source :
http://psaefaki.blogspot.com/2010/11/arti-dan-makna-kesetiakawanan-sosial.html
http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=0&id=963
http://sawali.info/2007/07/15/kesetiakawanan-sosial-versus-masyarakat-konsumtif/
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
Jumat, 28 Oktober 2011
Korupsi
KORUPSI
Asal kata Korupsi
Korupsi berawal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Prancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari Bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia yaitu korupsi. (Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi)
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
- perbuatan melawan hukum;
- penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
- memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
- merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:
- memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
- penggelapan dalam jabatan;
- pemerasan dalam jabatan;
- ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
- menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Definisi Korupsi
1. Definisi korupsi menurut “Transparency International” adalah perilaku pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang di percayakankepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, korupsi mencakup unsur-unsur :
1. Melanggar Hukum
2. Penyalahgun aan wewenag
3. Merugikan negara
4. Memperkaya pribadi/diri sendiri
Dalam arti luas korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk kepentingan pribadi.
Semua bentuk pemerintah rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujuk korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
2. Korupsi menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia” adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
3. Korupsi di definisikan oleh “Bank Dunia” sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk mendapatkan ke untungan pribadi.
Sedangkan ada banyak pengertian korupsi yang di gunakan oleh para peneliti, seperti :
1. Korupsi di definisikan sebagai penyalah gunaan kekeuasaan oleh pegawai pemerintah untuk kepentingan pribadi.
2. Korupsi di definisikan sebagai suatu tindakan penyelahgunaan kekayaan negara, yang me;ayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan negara.
Topoligi Korupsi
Arti kata Korupsi
Korup : busuk; palsu; suap
(Kamus Bahasa Indonesia, 1991)
buruk; rusak; suka menerima uang sogok; menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara; menerima uang dengan menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi
(Kamus Hukum, 2002)
Korupsi : kebejatan; ketidakjujuran; tidak bermoral; penyimpangan dari kesucian
(The Lexicon Webster Dictionary, 1978)
penyuapan; pemalsuan
(Kamus Bahasa Indonesia, 1991)
penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan sebagai tempat seseorang bekerja untuk keuntungan pribadi atau orang lain
(Kamus Hukum, 2002)
Menurut “Syed Hussein Alatas” topologi korupsi ada 7, yaitu :
1. Korupsi transaktif yaitu korupsi yang menunjukan adanya kesepakatan tibal balik antara pihak yang memberi dan menerima demi keuntungan bersama dimana kedua pihak sama-sama aktif menjalankan tindak korupsi.
2. Korupsi ekstortif yaitu korupsi yang menyertakan bentuk-bentuk koersi tertentu dimana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap agar tidak membahayakan diri, kepentingan, orang-orangnya atau hal-hal lain yang dihargainya.
3. Korupsi investif yaitu korupsi yang melibatkan suatu penawaran barang atau jasa tanpa adanya pertalian langsung dengan keuntungan tertentu yang diperoleh pemberi, selain keuntungan yang di harapkan akan di peroleh di masa datang.
4. Korupsi nepotistik yaitu korupsi berupa pemberian perlakukan khusus pada teman atau yang mempunyai kedekatan hubungan dalam rangka menduduki jabatan publik. Dengan kata lain mengutamakan kedekatan hubungan dan bertentangan dengan norma dan aturan yang berlaku.
5. Korupsi autigenik yaitu korupsi yang dilakukan individu karena mempunyai kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari pengetahuan dan pemahamannya atas sesuatu yang hanya diketahui sendiri.
6. Korupsi suportif yaitu korupsi yang menicu penciptaan suasana yang kondusif untuk melindungi atau mempertahankan keberadaan tindak korupsi.
7. Korupsi defensif yaitu tindak korupsi yang terpaksa di lakukan dalam rangka mempertahankan diri dari pemerasan.
Dengan beranjak dari topoligi korupsi tersebut maka kita dapat memperoleh kegunaan dalam derajat tertentu tuntuk mengidentifikasi fenomena korupsi.
Kemunculan topologi tersebut tergantung dari faktor-faktor penentu terjadinya korupsi yang berbeda antar satu negara. Namun ramuan-ramuan kebijakan nasional yang ada, tradisi birokrasi, perkembangan dinamika politik dan sejarah sosial.
Kondisi yang mendukung munculnya korupsi
- Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
- Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
- Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
- Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
- Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
- Lemahnya ketertiban hukum.
- Lemahnya profesi hukum.
- Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
- Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
mengenai kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibanding dengan kebutuhan hidup yang makin hari makin meningkat pernah di kupas oleh B Soedarsono yang menyatakan antara lain " pada umumnya orang menghubung-hubungkan tumbuh suburnya korupsi sebab yang paling gampang dihubungkan adalah kurangnya gaji pejabat-pejabat....." namun B Soedarsono juga sadar bahwa hal tersebut tidaklah mutlak karena banyaknya faktor yang bekerja dan saling memengaruhi satu sama lain. Kurangnya gaji bukanlah faktor yang paling menentukan, orang-orang yang berkecukupan banyak yang melakukan korupsi. Namun demikian kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang faktor yang paling menonjol dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia, hal ini dikemukakan oleh Guy J Parker dalam tulisannya berjudul "Indonesia 1979: The Record of three decades (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980 : 123). Begitu pula J.W Schoorl mengatakan bahwa " di Indonesia di bagian pertama tahun 1960 situasi begitu merosot sehingga untuk sebagian besar golongan dari pegawai, gaji sebulan hanya sekadar cukup untuk makan selama dua minggu. Dapat dipahami bahwa dalam situasi demikian memaksa para pegawai mencari tambahan dan banyak diantaranya mereka mendapatkan dengan meminta uang ekstra untuk pelayanan yang diberikan". ( Sumber buku "Pemberantasan Korupsi karya Andi Hamzah, 2007)
- Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
- Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau "sumbangan kampanye".
Dampak negatif
Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Ekonomi
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan.
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. [1] (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.
Kesejahteraan umum negara
Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
Menurut survei persepsi korupsi Indonesia merupakan satu dari tiga belas Negara terkorup di dunia. Dan ke tiga belas Negara tersebut, yaitu :
Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Indonesia, Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan, Rusia, Tanzania, Uganda, Ukraina
Namun demikian, nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini dilakukan berdasarkan persepsi subyektif dari para peserta survei tersebut, bukan dari penghitungan langsung korupsi yg terjadi (karena survey semacam itu juga tidak ada)
Contoh korupsi di Indonesia
Banyak sekali contoh kasus korupsi yang ada di Indonesia. Misalnya kasus Gayus di dewan perpajakan, sudah gaji dua belas juta perbulan yang bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) muda sudah sangat besar namun Gayus tetap korupsi.
Memang manusia tidak pernah puas. Dapat sedikit ingin lebih banyak, sudah banyak ingin lebih banyak lagi.
Selain kasus korupsi Gayus Tambunan, masih banyak lagi contoh-contoh kasus korupsi di Indonesia, misalnya kasus Abdullah Puteh, kasus Al-Amin, kasus Artalita, kasus cicak buaya, kasus sogok-menyogok ala masuk Pegawai Negeri Sipil (PNS), bahkan saat masuk sekolah atau kuliah. Sungguh ironis negri ini, banyak sekali contoh kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.
Kisah Penilangan Polisi
Semua orang butuh uang, namun ada jalan yang dihalalkan ada juga jalan yang terbelokkan dari fitrah kita sebagai manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Polisi yang mencari uang dengan tingkah buruk, maka keburukannya itu untuk dirinya sendiri.
Sudah menjadi rahasia umum. Kasus penilangan hanya kasus untuk mendapatkan uang bagi polisi kebanyakan. Tentu saja semoga itu hanya sedikit, namun kenyataannya itu berbalik.
Kisah Bank Century
Bank Century tak tahu arah kemana lagi akan berjalan. Sejalannya waktu, Bank Century hanya menjadi saksi atas nafsu brutal manusia yang mengahambakan uang. Inilah salah satu contoh kasus korupsi di Indonesia yang sulit di pecahkan.
Source :
http://putracenter.net/2010/04/13/definisi-definisi-korupsi-dan-topologinya/
http://mukhsonrofi.wordpress.com/2008/09/29/pengertian-atau-definisi-korupsi-versi-lengkap/
http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi
http://www.anneahira.com/contoh-kasus-korupsi-di-indonesia.htm
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer